Senin, 26 September 2011

Agar Tak Ada Lagi Kasus “Paspor Gayus”

Agar Tak Ada Lagi Kasus “Paspor Gayus”

Erwin Azis, Direktur Sistem dan Teknologi Informasi Keimigrasian Direktorat Jenderal Imigrasi, Kemenhukham
Erwin Azis, Direktur Sistem dan Teknologi Informasi Keimigrasian Direktorat Jenderal Imigrasi, Kemenhukham
Ditjen Imigrasi telah mengembangkan sistem electronic office (e-Office). Di antara modulnya ada yang dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan bagi masyarakat, seperti e-paspor. Ada pula yang ditujukan untuk simplifikasi dan standardisasi proses kerja internal ditjen ini.
Masih ingat kasus paspor ganda dan palsu terpidana mafia pajak Gayus Tambunan, yang menggunakan nama samaran Sony Laksono? Asal tahu saja, kabarnya Gayus juga memiliki paspor palsu negara Guyana, dengan nama Yosep Morris. Tentu dengan tampilan foto yang berbeda. Kan aneka rupa wig dan kacamata – sebagai pembeda penampilan – gampang diperoleh.
Ternyata, munculnya paspor ganda itu selama ini memang dimungkinkan terjadi. Bahkan, tak usahlah dengan rekayasa pemalsuan gaya Gayus. Pasalnya, seseorang yang sudah membuat paspor di kantor imigrasi (kanim) kota A, juga bisa membuat paspor berbeda di kanim kota B. Bagaimana bisa? “Selama ini masing-masing (sistem) kantor bersifat stand alone. Sistemnya belum terintegrasi, sehingga tidak ada verifikasi. Itu yang memungkinkan munculnya paspor dobel atau lebih dengan nama berbeda,” ujar Erwin Azis, Direktur Sistem dan Teknologi Informasi Keimigrasian Direktorat Jenderal Imigrasi, Kemenhukham.
Sekarang kasus pemalsuan paspor tidak akan terjadi lagi,” kata Erwin menjamin. Pasalnya, sejak 26 Januari 2011, Ditjen Imigrasi sudah menerapkan sistem paspor elektronik (e-paspor), yang dilengkapi cip penyimpan data yang dienkripsi. Cip itu juga disebutkan Erwin memiliki tingkat keamanan yang tinggi dan memenuhi standar pengamanan dari International Civil Aviation Organization, sehingga sulit dipalsukan. “Melalui e-paspor ini tidak akan ada lagi kasus Gayus, karena data yang tersimpan di dalamnya sudah dienkripsi,” ujar Erwin. Meski sudah lumayan canggih, harganya pun diklaimnya terjangkau. “Harga e-paspor hanya Rp 655 ribu, masih yang termurah di ASEAN,” katanya.
Toh, penerbitan e-paspor itu baru bisa dilayani di Kanim Jakarta Pusat, Kanim Kelas I Khusus Jakarta Barat, dan Kanim Kelas I Khusus Soekarno-Hatta.
Sebelumnya, Ditjen Imigrasi juga sudah memperkenalkan sistem Surat Perjalanan Republik Indonesia (SPRI) atau paspor, yang bisa dibuat di seluruh kanim tanpa terikat bukti domisili yang tertera di KTP. Dulu, pemegang KTP Tangerang, misalnya, hanya dapat mengajukan pembuatan SPRI di Kanim Tangerang. Sekarang dengan ditetapkannya peraturan baru yang menggunakan sistem foto terpadu berbasis biometrik, pembuatan SPRI bisa dilakukan di kanim mana pun. Selanjutnya, verifikasi data akan dikirim secara online ke Pusat Data Keimigrasian (Pusdakim). “Tujuannya memberikan kemudahan dan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat dalam pembuatan SPRI,” ucap Erwin.
SPRI yang berbasis biometrik juga mulai diterbitkan di empat perwakilan Indonesia di luar negeri – dari total 119 perwakilan – yakni Kedubes RI di Thailand dan Singapura, Konjen RI di Penang (Malaysia), serta Kantor Dagang Ekonomi Indonesia di Taiwan.
Menurut Erwin, sistem SPRI dan e-paspor merupakan sebagian dari sejumlah pengembangan sistem teknologi informasi (TI) yang dilakukan Ditjen Imigrasi. Sebab, selain sudah mampu menerbitkan e-paspor, kini seluruh proses kerja di semua kantor sudah terintegrasi dan terkoneksi secara real time. “Sekarang semuanya sudah di-drive by system,” Erwin menegaskan.
Upaya ke arah pola kerja berbasis TI di Ditjen Imigrasi, diklaim Erwin, sebenarnya sudah dilakukan sejak awal 1980-an. Toh, rencana itu selalu gagal. Baru pada 2002 mulai dirancang grand designmengenai Sistem Informasi Manajemen Keimigrasian (SIMKIM). Implementasi SIMKIM mulai dilakukan pada 2007 dengan membangun infrastruktur, seperti pusdakim dan pengembangan jaringan komunikasi Ditjen Imigrasi dengan 33 kantor wilayah (kanwil), 108 kanim, 44 tempat pemeriksaan imigrasi (TPI), 13 rumah detensi imigrasi (rudenim), satu unit khusus TKI, dan empat perwakilan RI yang terkoneksi secara online.
Untuk proyek SIMKIM, sejumlah vendor lokal dilibatkan, seperti Sigma, Berca Hardayaperkasa, Comnet Nusantara Integrator, dan Telkom. Investasi yang dibenamkan mencapai Rp 42 miliar, yang digunakan untuk pembelian beberapa unit server Blade dan sistem clustering, serta untuk penggelaran jaringan komunikasi yang menggunakan fiber optik dan jaringan MPLS. Pada Juni 2008, proyek SIMKIM yang diperkenalkan ke publik dengan nama sistem electronic Office (e-Office) bisa dituntaskan, sehingga semua kanim sudah terintegrasi dan terkoneksi secara online.
Dijelaskan Erwin, di dalam e-Office tercakup sejumlah modul (aplikasi) untuk mendukung proses kerja di setiap tahapan pelayanan keimigrasian (lihat: Tabel). Antara lain, Border Control Management (BCM), yang berfungsi mencatat perlintasan orang masuk ke dalam dan keluar dari wilayah Indonesia, dan Identity Management (IdM), yang mangatur hak akses setiap pegawai pada setiap sistem aplikasi yang telah terbangun. Dan masih banyak lagi. Tentu saja pengembangan dan implementasi aplikasi di dalam e-Office itu tidak dilakukan sekaligus, melainkan bertahap. Aplikasi IdM, BCM dan Single Sign On (SSO), misalnya, mulai diimplementasi pada 2009.
Mekanisme kerja pun ikut berubah. Dengan adanya IdM dan SSO, sebagai contoh, setiap petugas diatur di kantor pusat, yang akan masuk ke sebuah portal dengan menggunakan password. Dari portal itu bisa ditentukan hak dan pekerjaannya: kalau dia bagian keuangan, dia hanya bisa masuk ke bagian keuangan (baik untuk layanan visa, izin tinggal maupun SPRI). Singkatnya, semua aktivitas karyawan akan terpantau sistem. Misalnya, pengiriman blanko paspor ke suatu kanim, sekarang bisa dimonitor: blankonya sampai mana, siapa yang mengotorisasi ke kanwil, kanim, dan digunakan atas nama siapa. “Jadi, dengan adanya IdM dan SSO, sekarang bisa diketahui siapa melakukan apa,” Erwin menerangkan.
Menariknya, pemantauan dan pengendalian semua proses kerja keimigrasian di seluruh Indonesia dilakukan dari Ruang Kendali, yang berada di lantai 9 Gedung Bhumi Pura Wira Wibhawa. Ruang Kendali ini juga dipakai untuk mengawasi kinerja seluruh sistem, perangkat server, dan jaringan komunikasi keimigrasian.
Di Ruang Kendali terdapat 30 petugas TI yang masing-masing memantau setiap PC. Mereka memiliki tugas memonitor dan melayani pengecekan data masyarakat yang memiliki paspor, izin tinggal dan visa turis, data pencekalan paspor, BCM, sistem penerbitan SPRI, idM, dan sebagainya. Di belakang Ruang Kendali tersedia pula ruang telekonferensi, untuk melakukan hubungan kerja dengan kanwil, TPI dan sebagainya. “Ruang Kendali ini berfungsi untuk memudahkan konsolidasi, integrasi dan ketika kami membutuhkan suatu data secara cepat,” ucap Erwin.
Selain Ruang Kendali, di lantai 9 Gedung Ditjen Imigrasi terdapat juga ruang tertutup untuk memproduksi nomor seri paspor, dan ruang pusat data. Di pusat data terdapat beberapa server dari berbagai vendor, yang memiliki kapasitas sangat besar (dalam hitungan terabyte). Maklum, sekarang pusat data ini menyimpan 10 juta data, termasuk image dan row sidik jari. Ini terkait dengan tingginya permintaan pembuatan paspor, yang sekarang mencapai 3 juta aplikasi per tahun.
Penerapan e-Office, diklaim Erwin, memberikan beberapa manfaat. Pertama, terwujudnya simplifikasi alur kerja berbasis teknologi digital (elektronik) dalam pelayanan jasa keimigrasian. Misalnya, sebelumnya permohonan yang diajukan dari Merauke harus dilayangkan melalui surat ke Kanwil Jayapura, lalu ke Ditjenim Jakarta. Jika mendapat persetujuan, akan dikirimkan via surat ke Jayapura dan diteruskan ke Merauke. Nah, dengan sistem baru proses administrasi dapat dilakukan secara elektronik, karena masukan data dari Merauke dapat ditampilkan secara real time di Jayapura dan Jakarta. Begitu pula sebaliknya.
Manfaat kedua, terwujudnya standardisasi proses kerja di setiap tahapan proses pelayanan keimigrasian pada masing-masing Pelaksana Fungsi Keimigrasian. Efeknya akan meminimalisasi tindakan koruptif dan konflik kepentingan. Ketiga, terwujudnya kemudahan pemantauan dan pengawasan melalui penggunaan sistem administrasi berbasis TI. Keempat, memiliki sistem manajemen dokumen, sehingga alur proses penyelesaian berkas setiap tahapan dilakukan oleh sistem. Kelima, proses digitalisasi fail (file). Setiap lampiran permohonan berupa persyaratan atau data pendukung disimpan dalam bentuk fail digital, sehingga memudahkan proses penemuan kembali.
Toh, tak berarti implementasinya mulus begitu saja. “Kendalanya adalah mengubah kultur. Terutama karyawan lama. Ini tidak gampang, sehingga perlu dilakukan edukasi secara terus-menerus,” ungkap Erwin.
Manfaat penerapan e-Office yang terintegrasi diamini Handwiyuto. Saat ini, melalui e-Office kanim di tempatnya bisa mengetahui kondisi layanan, baik mengenai jumlah pemohon, status permohonan maupun petugas yang bertanggung jawab dalam proses pelayanan dengan cepat dan mudah. Selain itu, pihaknya juga dapat melakukan pengarsipan secara digital bersatu dengan proses permohonan, pengecekan data daftar pencegahan dan pencekalan secara online. Pelaporan pun bisa dilakukan lewat sistem. “Kendalanya memang pada rendahnya kemampuan SDM yang menguasai teknologi informasi dan komunikasi,” ucap Kepala Sub-Bagian Tata Usaha Kanim Kelas II Sambas, Kalimantan Barat ini.
Maka ke depan, Handwiyuto berharap lebih banyak dilakukan pelatihan teknis mengenai penggunaan dan perawatan perangkat dan sistem. “Rencana kerja Ditjen Imigrasi pun perlu disosialisasikan, sehingga kanim dapat mengetahui dan mempersiapkan sumber daya secara lebih baik,” tambahnya.
Rencananya, dalam waktu dekat pihak Ditjen Imigrasi akan melakukan monitoring (fisik) secara intensif melalui penempatan teknologi CCTV di lima TPI besar, yakni Soekarno-Hatta, Juanda, Ngurah Rai, Medan dan Batam. “Saat ini kami hanya bisa memonitor siapa yang melintas (ke Indonesia) dari paspor yang masuk. Nah, dengan adanya CCTV bisa dimonitor juga fisiknya,” ujar Erwin. “Kami akan terus melakukan perbaikan dan pengembangan sistem untuk meningkatkan pelayanan. Sekaligus menyederhanakan dan melakukan standardisasi proses kerja.”
Modul-modul Penting e-Office:
  1. Persetujuan dan Penerbitan Visa: pelayanan keimigrasian dalam persetujuan dan penerbitan visa bagi warga negara asing.
  2. Izin Tinggal dan Status Keimigrasian: pelayanan keimigrasian dalam persetujuan dan penerbitan izin tinggal bagi WNA yang berada dan bekerja di wilayah Indonesia.
  3. Penerbitan Surat Perjalanan Republik Indonesia: pelayanan keimigrasian dalam penerbitan paspor bagi warga negara Indonesia.
  4. Border Control Management: mencatat perlintasan orang masuk ke dan keluar dari wilayah Indonesia.
  5. Enhanced Cekal System: pencatatan dan pengecekan data orang yang masuk dalam daftar pencegahan dan pencekalan.
  6. Penyidikan dan Penindakan Keimigrasian: proses penyidikan dan penindakan keimigrasian.
  7. Pendetensian: proses pendetensian orang asing yang melakukan pelanggaran keimigrasian atau peraturan perundang-undangan yang berlaku menunggu proses pendeportasian ke negara asal.
  8. Identity Management: pengaturan hak akses setiap pegawai pada setiap sistem aplikasi yang telah terbangun.
  9. Manajemen Dokumen Keimigrasian: mencatat penerimaan dan penggunaan dokumen keimigrasian.
  10. Media Informasi Digital: penyebaran informasi secara elektronik di Ditjen Imigrasi.
Sebelum Penerapan e-Office
  • Setiap kantor bersifat stand alone. Sistemnya belum terintegrasi, sehingga tidak ada verifikasi. Itu yang memungkinkan munculnya dua paspor atau lebih dengan nama berbeda.
  • Pembuatan Surat Perjalanan Republik Indonesia (SPRI) atau paspor hanya bisa dilakukan di kantor imigrasi tempat KTP dikeluarkan.
  • Proses kerja keimigrasian berjenjang dan lama. Permohonan yang diajukan dari suatu daerah harus dilayangkan melalui surat ke Kanwil, lalu ke Ditjenim di Jakarta. Jika mendapat persetujuan, akan dilakukan melalui pengiriman surat ke Kanwil dan diteruskan ke daerah pemohon.
  • Proses kerja dilakukan secara manual, tidak ada standardisasi, tidak bisa dimonitor.
  • Susah melacak siapa melakukan apa.
Sesudah Penerapan e-Office
  • Ada paspor elektronik (e-Passport) yang dilengkapi chip yang sudah dienkripsi. Chip ini berfungsi sebagai penyimpan data pemilik paspor. Dengan e-Passport, paspor tidak akan bisa dipalsukan, karena data yang tersimpan di dalamnya sudah dienkripsi.
  • Pembuatan SPRI bisa dilakukan di seluruh kantor imigrasi tanpa terikat bukti domisili yang tertera di KTP. Sebab, sekarang sudah menggunakan sistem foto terpadu berbasis biometri. Selanjutnya, verifikasi data akan dikirim secara online ke Pusat Data Keimigrasian.
  • Terjadi simplifikasi alur kerja berbasis teknologi digital (elektronis) dalam pelayanan jasa keimigrasian.
  • Adanya standardisasi proses kerja di setiap tahap proses pelayanan keimigrasian pada tiap-tiap Pelaksana Fungsi Keimigrasian. Efeknya, meminimalisasi tindakan koruptif dan konflik kepentingan. Proses kerja bisa dimonitor melalui penggunaan sistem administrasi berbasis TI.
  • Bisa mengetahui kondisi layanan, baik mengenai jumlah pemohon, status permohonan, maupun petugas yang bertanggung jawab dalam proses pelayanan dengan cepat dan mudah.


    Sumber: February 28th, 2011  A. Mohammad B.S.

Leave a Reply